Dalam kitab Zahri Riyadl, dikisahkan bahwa Nabi Ya’qub telah bersahabat dengan malaikat maut. Suatu ketika Malaikat maut datang menjumpainya. Nabi Ya’qub bertanya,
“Hai Malaikat Maut, engkau datang sekadar untuk mengunjungi aku atau hendak mencabut nyawaku?”
“Aku datang sekadar berkunjung”
Ya’qub menimpali, “Jika demikian, aku punya hajat kepadamu”
“Apa hajatmu?”
“Aku minta agar engkau memberitahu aku jika telah dekat ajalku dan engkau mau mencabut nyawaku”
Malaikat Maut menyanggupi, “Ya, akan aku kirimkan dua utusan atau bahkan tiga”
Selang beberapa lama setelah pertemuan ini Malaikat Maut datang lagi. Seperti biasa Ya’qub bertanya, “Engkau datang sekadar berkunjung atau hendak mencabut nyawaku?”
Malaikat Maut menjawab, “Aku datang kali ini untuk mencabut nyawamu”
“Bukankah engkau telah berjanji mengirimkankan dua atau tiga utusan untuk memberitahuku sebelum ajalku dekat?”
“Aku telah melakukannya”, jawab Malaikat. “Utusan pertama adalah rambut putih yang sebelumnya hitam. Utusan kedua adalah kelemahan tubuhmu yang sebelumnya kuat. Utusan ketiga adalah kebongkokan tubuhmu yang sebelumnya tegak. Semua itu adalah utusanku pada anak Adam sebelum mati.”
‘Aisyah, istri Rasulullah pernah bercerita, “Aku sedang duduk bersila di rumah, tiba-tiba Rasulullah saw masuk sambil mengucapkan salam. Aku bermaksud berdiri untuk menghormat dan memuliakan beliau sebagaimana kebiasaanku. Beliau bersabda. ‘Tetap duduklah, engkau tak usah berdiri, wahai Ummul Mukmimin!’ Beliau kemudian duduk meletakkan kepalanya pada pangkuanku, lalu tidur berbaring. Maka aku menghilangkan uban pada jenggotnya, aku dapati 19 rambut putih. Terpikirlah olehku bahwa beliau akan meninggalkan dunia sebelumku, sehingga tinggallah ummatnya tanpa Nabi. Maka aku menangis. Air mataku mengalir di pipi dan menetes pada muka beliau hingga beliau terbangun. Beliau bertanya, ‘Gerangan apakah yang engkau tangisi wahai Ummul Mukmimin?’
Maka aku ceritakan segalanya. Kemudian beliau bertanya, ‘Keadaan manakah yang lebih hebat bagi mayat?’
‘Tunjukkanlah, wahai Rasulullah,’ kataku.
‘Bukankah engkau yang mengatakannya?’ Aku menjawab,
‘Tidak ada keadaan yang paling hebat bagi mayat daripada saat keluarnya mayat dari rumahnya, di mana anak-anaknya bersedih hati di belakangnya seraya berkata, ‘Aduh ayah, aduh ibu,’ dan ayah berkata, ‘Aduh anakku.’
Nabi menimpali, ‘Itu hebat, tapi masih adakah yang lebih hebat?’
Jawabku, ‘Tidak ada yang lebih hebat bagi mayat dari ketika ia diletakkan di liang lahat dan ditimbuni tanah di atasnya. Kerabatnya kembali, begitu pula anak dan kekasihnya. Mereka semua menyerahkan kepada Allah swt beserta amal perbuatannya. Maka datanglah Munkar dan Nakir dari dalam kuburnya.’
Sahut Nabi, ‘Adakah yang lebih hebat dari pada itu?’
‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’
Sabda Nabi, ‘Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya sehebat-hebat keadaan mayat adalah ketika orang yang akan memandikannya masuk ke rumahnya untuk memandikannya. Di kala itu ruhnya memanggil ketika ia melihat mayat dalam keadaan telanjang dengan suara yang seluruh makhluq mendengarnya, kecuali jin dan manusia.
Ruh: Wahai orang yang memandikan, kuminta kepadamu karena Allah, untuk melepaskan pakaianku dengan perlahan-lahan sebab saat ini aku beristirahat dari seretan malaikat Maut. (Dan jika disiram maka ia berteriak begitu).
Mayat: Wahai orang yang memandikan, janganlah engkau menuangkan airmu terlalu panas atau terlalu dingin, sebab tubuhku terbakar dari lepasnya ruh.
Jika mereka memandikannya, maka berkatalah ruh: Demi Allah, wahai orang yang memandikan, janganlah engkau menggosok aku dengan kuat, sebab tubuhku luka-luka dengan keluarnya ruh.’”
Secara alamiah, manusia itu berproses dari tidak ada menjadi ada, untuk kemudian tidak ada lagi. Keberadaannya dimulai dari ketika masih berupa janin dalam rahim seorang ibu. Dari ujud yang belum berbentuk hingga menjadi janin yang siap dilahirkan ke dunia.
Ketika lahir seorang bayi belum bisa mendengar, melihat, dan berkata. Ia hanya bisa melakukan aktivitas yang sifatnya naluri, seperti menangis, gerak-gerak kecil, dan minum. Keberlangsungan hidupnya sangat bergantung pada pertolongan orang lain. Ia sangat lemah.
Dari bayi tumbuh menjadi kanak-kanak yang lucu, kemudian terus berkembang menjadi remaja, dan dewasa. Pada masa remaja dan dewasa inilah seorang manusia menjadi kuat dan sempurna pertumbuhan dan perkembangannya. Waktu terus berjalan, akhirnya seorang manusia memasuki usia tua. Kekuatan dan kesempurnaannya pelan-pelan sirna termakan oleh usia. Ia menjadi lemah kembali.
Allah swt menggambarkan hal ini dengan indah sekali.
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar-Ruum: 54)
Secara normal, itulah siklus kehidupan manusia di dunia. Dari lemah menjadi kuat, kemudian lemah kembali, untuk selanjutnya mati. Sudahkah kehidupan berakhir sampai di sini? Masih ada kehidupan yang lebih abadi.
Kematian secara alamiah pasti datang menjemput siapa saja. Karenanya kematian tidak perlu ditakuti. Sekalipun manusia bersembunyi dalam benteng yang paling rapat, maut pasti datang menjemput. Kepada sesuatu yang sudah pasti ini manusia hanya bisa pasrah menyerah. Dokter yang paling ahli sekalipun tak bakal mampu mencegah. Bahkan dirinya sendiri tak bisa melakukan apa-apa ketika malaikat maut datang mencabut nyawanya.
Dalam keadaan normal, Allah selalu memberi isyarat sebelum sesuatu itu terjadi. Sebelum datangnya hujan, terlebih dahulu Allah menghadirkan mendung. Sebelum tidur, manusia dibikin ngantuk. Sebelum mati, Allah memberi aba-aba dengan dua hal di atas, yaitu uban dan kemunduran fisik. Sebelum mati, terlebih dahulu Allah memberinya sakit.
Sayang, aba-aba semacam ini kurang diperhatikan manusia, karena panjangnya angan-angan dan besarnya harapan tentang kehidupan di dunia. Akibatnya, kematian yang sudah pasti itu mereka lalaikan. Ketika kematian betul-betul datang, mereka kaget karena belum memiliki kesiapan.
Hasan Al-Bisri, salah seorang tokoh Sufi meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah: “Sukakah kamu masuk surga?” Para sahabat menjawab, tentu, ya Rasulullah! Rasulullah bersabda, “Pendekkan angan-anganmu, gambarkan ajalmu di depan mata, dan jagalah baik-baik kesopananmu di hadapan Allah.”
Banyak manfaat yang bisa dipetik dari mengingat maut ini. Seseorang yang merasa ajalnya sudah dekat akan bersungguh-sungguh dalam beribadah, serius dalam beramal shalih, dan berusaha untuk meninggalkan perbuatan yang sia-sia, serta membuang jauh-jauh perasaan malas untuk beramal.
Selain itu ia akan menjadi zahid, tidak rakus pada dunia. Baginya dunia hanyalah jembatan yang bisa mengantarkannya ke surga atau neraka. Sebagai jembatan, dunia itu perlu dilalui dengan hati-hati. Kesalahan sedikit bisa berakibat fatal, yaitu tergelincir ke lautan neraka.
Orang yang mengingat mati juga akan bersegera untuk bertaubat. Mereka tidak menunggu-nunggu lagi, sebab di pelupuk matanya sudah tergambar mayyit yang diusung ke keburan. Di hatinya malah sudah terukir berbagai nikmat surga yang akan didapat, atau siksa neraka yang mungkin menimpanya akibat berbagai kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat. Maka segala perbuatan dan tingkah laku yang menghalangi seseorang untuk melakukan ketaatan kepada Allah segera disingkirkan. Mereka senantiasa memilih jalan yang diridhai-Nya.
Adapun orang yang panjang angan-angannya akan selalu menunda-nunda kebaikan. Mereka merasa bahwa masa hidupnya masih panjang, sementara berbagai kenikmatan dunia belum sempat dirasakan. Mereka ingin terus mengejar, sampai akhirnya kaget ketika malaikat maut datang untuk mengakhiri riwayat hidupnya.
Itulah sebabnya Rasulullah sering melontarkan do’a sebagai berikut: “Ya Allah, Aku berlindung kepadamu dari dunia yang menghalangi kebajikan untuk akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari kehidupan yang menghalangi kebajikan untuk mati. Dan aku berlindung pula kepada-Mu dari angan-angan yang mengganggu kebajikan untuk beramal.”
Dalam kitab Bidayah, Imam Al-Ghazali berpesan, “Hendaknya Anda senantiasa merenungkan umur yang pendek di dunia, jika dibandingkan dengan tempat tinggal di negeri akhirat yang kekal sepanjang masa, meskipun Anda merasa bisa hidup selama seratus tahun.
Renungkan pula betapa susah, payah, dan hinanya Anda dalam mengejar dunia, sebulan atau setahun, dengan harapan Anda akan hidup selama dua puluh tahun, misalnya. Akan tetapi mengapa Anda enggan bersusah payah sedikit ketika hidup di dunia, agar Anda merasakan peristirahatan yang kekal di akhirat kelak?
Dalam kondisi kita sekarang ini, Allah tidak mengharap agar kita mengurangi aktivitas keduniaan, sebab ummat Islam sekarang masih belum beranjak dari kemiskinan. Kita tetap berkewajiban untuk menuntaskankan tugas kekhalifahan di muka bumi dengan lebih banyak memberi kesejahteraan bagi penghuninya.
Di sela-sela kesibukan kita mengurus dunia, jangan lupa mengurus kehidupan akhirat. Jika kita rela mengurus dunia dengan susah payah hanya sekadar untuk waktu yang sangat singkat, kenapa kita tidak bersungguh-sungguh menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal?